23 January 2012

KARMA 7

KARMA 7

Menjadi Perawat Arsyad

"Kenapa kamu lakukan itu, Syad?"

Itulah pertanyaan pertama setelah Arsyad keluar dari ruang IGD. Tangan kiri Arsyad merangkul pundakku sementara dia agak meloncat-loncat berjalan dengan kaki kanannya. Untung lukanya tidak terlalu dalam hanya agak melebar. Kata dokter yang menjahit, lukanya bagus jadi tidak terlalu repot. Arsyad mendapat 12 jahitan dalam dan 15 jahitan luar. Luka tusukan pisau itu memanjang dari paha dalam ke paha depan. Beberapa senti lagi saja alat vitalnya bisa kena tusukan.

Tak ada jawaban sama sekali dari Arsyad dari pertanyaanku. Hanya  senyum getir dari mulutnya sedikit saja.Bagaimana tidak? Luka yang diderita itu buatan ibu kandungnya sendiri. Ibunya memegang pisau dan ayahnya yang menyebabkan ibu Arsyad jatuh sehingga pisau itu menancap di paha kirinya. Saat sementara dia di atas meja bedah, orang tuanya sedang menyelesaikan urusan mereka sendiri entah di mana. Tapi senyum Arsyad juga menyiratkan bahwa dia merasa senang karena kutemani.

Kami memilih ruang tunggu di luar bagian IGD. Aku menelepon Putri, adikku. Ibu masih agak syok karena kejadian tadi sore tapi bisa ditangani.  Putri sempat mengabarkan tadi ada polisi datang dan besok hendak bertemu dengan aku. Suara Putri masih agak lemas tapi cukup baik sepertinya. Kurasa keadaan di rumah sudah cukup terkendali.

"Put, bilang ke Ibu, kaka mungkin sampai malam menjaga Arsyad di rumah sakit. Sampai sekarang keluarganya belum nampak seorang pun.. kasihan dia tampak terguncang"

Aku menutup telepon setelah Putri mengiyakan. Bagaimanapun jahat orang tua Arsyad pada ibuku tapi Arsyad tetap temanku. Bahkan aku yakin dia sengaja melindungi kami, aku terutama, dari siapapun termasuk orang tuanya sendiri. Perlindungan ini membuktikan kalau Arsyad menyimpan sesuatu lebih dari sekedar teman tapi aku tidak yakin juga.

"Jer, aku ingin kencing nih.."

Aduh! Ada-ada saja nih anak... jalan saja susah sekarang ingin pipis belum lagi kalau mau ke WC.

"Aku panggilin perawat ya..."

"Jangan! Kamu temani saja... bisa kok..." Arsyad berkeras.

"Aku takut karena banyak gerak lukamu terbuka lagi..."

"Gak! Ayo..."

Akhirnya aku mengambil kursi roda dan mendorong Arsyad ke WC. Dengan berusaha dan kesusahan Arsyad membuka celananya yang tinggal separoh karena digunting oleh perawat. Mau tak mau aku masuk ke WC bersama Arsyad. Pengguna toilet lain juga maklum dan tidak mungkin berpikir yang tidak-tidak.

Saat mengeluarkan kontol ternyata kontol Arsyad ngaceng. Otomatis susah, ga keluar kencingnya.

"Kok ngaceng sih, Syad?" bisikku.

Lihat begitu kontolku kena setrum ikutan tegang juga.

"Ga tau nih... mungkin karena ada kamu" Arsyad memandangku.

Halah! Lagunya Ahmad Dhani banget...

"Lah terus gimana, Syad?" kataku polos.

Arsyad memberikan kode supaya aku mengulum. Aku menggeleng. Terus terang aku lagi malas setelah bertubi peristiwa begini. Meskipun aku juga ngaceng tapi aku tahu tempat dan waktu, sekarang bukan waktu yang tepat. 

"Ayolah, Jer"

Aku menggeleng lagi dan tersenyum. Sorry Sob... waktunya tidak tepat saja. Akhirnya Arsyad membalik badan dengan sedikit kesal dan bisa kencing juga. Setelah itu aku jadi merasa tidak enak hati sebentar. Senyuman Arsyad menghapus rasa tidak enak itu segera.


Sebenarnya Arsyad diijinkan pulang karena ternyata lukanya tidak separah nampaknya. Arsyad belum bisa berjalan sementara administrasi belum diurus dan lagi kami tidak ada kendaraan untuk membawa Arsyad pulang.

"Syad, aku cari ATM dahulu sekalian cari makan. Kamu tunggu saja di sini"

"Pakai ATMku saja Jer.." Arsyad merasa sungkan.

"Sudahlah. Itu gampang diurus nanti.."

"Gak. Gak mau Jer... ini bawa saja ATMku" Arsyad dengan susah payah mengeluarkan ATM dari Bank yang sama dengan yang kutuju.

Ah ni anak ...

"Gampanglah... nanti kamu tinggal transfer aku saja"

Deg! tiba-tiba aku teringat kalau baru siang tadi aku membayar uang semesteran Putri. Bakalan tidak cukup untuk membayar obat dan taxi. Segera aku sambar ATM Arsyad tanpa muka berdosa.

"Pinnya?" tanyaku mengeluarkan hape dan siap menulis PIN.

"5-3-7-4-6-5" kata Arsyad agak pelan.

"Oke aku berangkat. Kamu suka nasi padang kan?"

"Asal jangan pakai cincang saja..." pinta Arsyad.

Padahal daging cincang tuh kesukaanku.
***

Saat di rumah makan Padang aku ditegur seseorang.

"Kok sampai sini, dik?"

Orangnya putih dan badan lumayan berisi. Sepertinya memang pernah ketemu, tapi di antara banyak peristiwa yang harus kusimpan hari ini aku jadi tidak mengingatnya.

"Lupa ya? Aku satpam hotel... kan baru tadi siang..." dia tersenyum karena aku bengong.

Ah.. kenapa tidak terpikir kalau ini si Shandy ga pakai syarif? Tanpa seragam dia tampak lebih muda dan masih ganteng.

"Oh ya.. ya.. sori sori pak eh mas..." jadi ga enak kalau panggil Pak.

"Panggil mas juga lebih enak walau aku bukan orang jawa..."

"Loh emang orang mana, bang?" tanyaku

Tiba-tiba dia bercakap dengan si Uda dalam bahasa Minang. Sepertinya dia meminta diskon untukku atau entahlah tak sepatah katapun yang kumengerti.

"Oke dik, aku duluan ya... sampai ketemu di hotel lagi..."

Wah beneran nih aku dikira gigolo. Ganteng-ganteng kurang ajar tuh mulutnya... Harus diberesin sekarang.

Si Uda memberikan dua bungkus nasi padang pesananku.

"Berapa, Da?"

"Sudah di bayar sama Uda yang tadi..." kata Uda dalam logat padang.

Heh!Waduh kacau dan runyam deh... Tetap saja aku mengejar ke parkiran luar.

"Bang... Bang Shandy tunggu...!"

Motor Bang Shandy sudah mundur dari tempat parkir dan berhenti. Aku terengah-engah ketika mendekatinya.

"Makasih Bang sudah dibayari. Tapi aku juga mau nanya, maksud kerlingan tadi siang dan kata-kata barusan  sampai ketemu di hotel lagi' itu apa? Apa abang kira aku gigolo?" suaraku agak meninggi karena emosi.

Bang Shandy ga pake syarif membuka helm yang sudah dipakainya. 

"Maaf ya... kalau Mas ini menyinggung. Tak ada maksud apa-apa. Satu hal yang Mas tahu adalah kalau  kamu adalah penyuka pria.."

Hep! Mulutku terkatup. Bang Shandy bisa tahu rahasiaku tanpa  perlu kukatakan. Banyak gay memiliki kemampuan lebih seperti ini. Dia bisa membaca seseorang apakah orang itu gay atau bukan. Bisa diajak atau tidak. Kemampuan ini lebih terkenal dengan nama gaydar. Radarnya gay. Bang Shandy memilikinya dan termasuk kuat karena tidak semua bisa menangkap sinyalku.

"Dari mana..."

"Tak perlu ditanyakan. Boleh minta nomer hapenya kan? Kapan-kapan kalau aku ga tugas, kamu main ke kontrakanku... nanti kita cerita lagi. Sudah ditunggu..." katanya sambil menunjukkan bungkusan besar nasi padang.

Kami bertukar no hape dan Bang Shandy berlalu. Aku jadi merinding sendiri. Selama jalan ke ATM aku memeriksa diri kalau-kalau gayaku mulai kebanci-bancian. Tidak, semua masih sama seperti yang dahulu, kurasa.

***

...
Aku mulai memencet PIN dari Arsyad yang kusimpan di hape. 5=J, 3=E, 7=R, 4=I hei!! itu kan namaku. 6=M, 5=J ... hmm mungkin aku saja yang mengada-ada. Empat nomer pin awalku juga sama 5374 supaya lebih mudah dihapalkan.

Aku mengambil sejumlah uang, cukup jumlahnya untuk membayar biaya rumah sakit dan naik taxi nanti.

Lalu aku segera kembali ke Rumah Sakit untuk menjemut Arsyad. Rasa ingin tahuku muncul kenapa dia menggunakan namaku sebagai kata sandi di kartu ATM Arsyad. Sayangnya di Rumah Sakit aku tidak menemukan Arsyad. Kucoba hubungi telepon genggam tapi tidak aktif. Kutanyakan tempat pembayaran, sudah diurus semua dan diselesaikan oleh Omnya Arsyad. Omnya Arsyad? Om yang mana?

Tiba-tiba saja ada rasa panas dalam hati. Seperti seseorang habis merebut kekasihku.

***

Tanpa diketahui Jerry, Arsyad didekati seorang pria sesaat setelah Jerry meninggalkannya sendiri di ruang tunggu rumah sakit.

"Kamu Arsyad ya... teman Jerry?"

"Hmm iya. Om siapa ya?"

"Aku Bara, omnya Jerry..."

Arsyad cuma mengangguk lalu diam.

"Jerrynya mana?"

"Keluar Om ke ATM"

Om Bara langsung mengerti apa yang terjadi diantara anak anak muda ini. Uang. Baginya uang bukanlah sebuah persoalan. Ada yang lain yang lebih penting yang dia inginkan dari Arsyad.

"Ah ya, tadi aku lihat Jerry keluar tapi kukira sudah balik ke sini. kamu tunggu dia atau mau saya antar?"

"Saya sama dia saja, Om" ujar Arsyad merasa tak enak.

"Ga apa-apa loh.. kalau mau saya antar. Om rasa agak sulit kalau naik kendaraan umum"

Arsyad tampak bimbang dan berpikir.

"Sebentar saya beri tahu Jerry dulu Om..."

Arsyad mengeluarkan hape dan memilih nomer Jerry. Lalu tut tuut... layar mati karena lowbat. Arsyad tampak kesal. 

"Hmm boleh pinjam uang Om dulu buat lunasi administrasinya?"

Arsyad mengatakan dengan ragu dan malu. Om Bara hanya tertawa. Bukan karena kepolosan Arsyad tapi lebih karena keberhasilannya sendiri. Segeralah diselesaikan semua administrasi dan merekapun menaiki mobil Om Bara. Sempat Arsyad berpesan pada satpam di pintu masuk kalau kalau Jerry akan menanyakannya.

***

Keesokan paginya Arsyad baru bisa dihubungi.

"Syad, kamu menghilang kemana saja sih... sulit banget dihubungi.." semprot Jerry.

"Kangen ya bro..."

"Mabok ni anak... kemarin pulang sama siapa? Om yang mana?"

"Kamu ke sini aja dulu deh... Setelah mandiin dan suapin aku baru aku cerita"

"Jiah... tanganmu kan ga sakit"

"Mau ceritanya atau tidak?!" ancam Arsyad

"Ya sudah tunggu setengah jam lagi.."

Bukan karena ingin tahunya tapi Jerry memang sudah berniat untuk menolong Arsyad sampai sembuh. Ya anggap saja membalas budi, kalau tidak toh juga dia yang kena pisau.

"Ge Pe El yaa... gak pake lama" goda Arsyad.

Setengah jam kemudian Jerry masuk ke rumah Arsyad dengan was-was kalau kalau si tante stress masih membawa pisau. Mungkin saja sekarang dia akan menusuknya. Jerry jadi ragu untuk masuk rumah. Dia mencoba memutar ke samping rumah dan mencari jendela kamar Arsyad.

"Masuk aja bro... ga ada orang kok" ujar Arsyad setelah Jerry menyanyakan keadaan ibunya.

Berantakan sekali keadaan rumah Arsyad. Ada satu pot keramik pecah berantakan di lantai. Masuk ke kamar Arsyad Jerry mendapati bungkus obat masih utuh belum diminum. Arsyad pun masih mengenakan baju  yang kemarin. Bibirnya mengering. 

"Bisa ambilin aku minum, Jer?" tampaknya haus banget.

Keadaan Arsyad lebih parah dari yang diduga. Pulang dari rumah sakit dia harus berjuang masuk ke kamar sendirian. Sesudah mencari cas hape dan mengecasnya dia langsung tertidur tanpa mengunci pintu atau menyalakan lampu depan sama sekali. Hingga tadi Jerry menelepon.

"Jadi kamu pulang dengan siapa?"

"Carikan aku makan dulu Jer... lapar banget..."

Segera Jerry ke dapur dan hanya menemukan mie instan dan nasi kemarin yang sudah mengering di magicjar. Jerry memasak mie instan dan telur sambil memanaskan air untuk mandi Arsyad nanti. Semua makanan yang sudah siap dibawa masuk ke kamar.

"Kok dua porsi?" tanya Arsyad

"Aku juga lapar kalee..." 

Jerry mendudukkan Arsyad di tempat tidurnya dan menambahkan beberapa bantal di belakangnya. Bagian punggung Arsyad terasa basah.

"Semalam kamu demam, ya?"

Arsyad hanya menggeleng. Tak tega karena Arsyad nampak kepayahan, akhirnya Jerry memutuskan untuk menyuapi.

"Ibumu ke mana?"

"Di tempat nenek di kampung. Semalam Ayahku yang mengantarkannya ke sana"

"Lalu Ayahmu?"

"Hmmm.... entahlah, manusia tak berguna yang tak bisa diharapkan" kekesalan Arsyad pada Ayahnya belum padam sedikitpun.

Saat Jerry akan menyuapkan mi instan lagi Arsyad menggeleng.

"Aku butuh sebuah pelukan. Boleh?" tanya Arsyad dengan mata mulai berkaca-kaca.

Jerry meletakkan mangkuk mie dan memeluk Arsyad. Arsyad menangis tertahankan. Kalian tahu rasa dan kacaunya perasaan Arsyad. Dingin dan kejam kehidupan seperti tusukan es yang langsung membekukan darah. Pelukan Jerrylah yang mencairkannya dan mengalirkan sedikit tetes air mata. Tetes yang di dalamnya terdapat racun karena kekesalan, kesedihan, dan kesepian dari dalam hatinya.

***

Akhirnya Arsyad berhasil menghabiskan suap terakhir dan meminum obat dosis paginya. 

"Tolong mandikan aku Jer..."

"Oke!" sahut Jerry girang dan muka lucu seperti anak dapat mainan baru.

Semua peralatan mandi dan baju bersih sudah disiapkan. 

"Kamu punya semacam plastik?"

"Ga ada, Jer"

Akhirnya supaya tidak basah semua mereka pindah ke kamar mandi dengan susah payah. Jerry mengeramasi rambut Arsyad terlebih dahulu. Lalu dibukanya kaus Arsyad yang basah. Bagian membuka celana agak sulit. Karena terlalu ketat akhirnya Jerry harus mengorbankan celana Jeansnya untuk dipotong di bagian samping. CD agak susah juga tapi akhirnya bisa. Arsyad yang bugil kaki kirinya diangkat dan ditumpangkan ke atas bak mandi supaya nanti tidak ada air yang mengalir ke bagian perban.

"Aaaaaaaa sakit Jer..."

Arsyad batal mengangkat kaki kirinya ke atas bak.

"Syad sepertinya ini kamu harus dilap saja deh... tidak bisa mandi"

Dengan telaten Jerry mengelapi tubuh Arsyad dari muka, leher dada dan punggung. Tiba-tiba entah darimana hasrat birahi Jerry datang karena melihat punggung dan pantat Arsyad. Dibuka celananya dan kontolnya yang tegang di sentuhkan ke pantat Arsyad.

Tubuh Arsyad yang berdiri mengangkang dipeluk dari belakang. Arsyad menyandarkan kepalan ke dada Jerry yang di belakangnya. Bibir mereka saling melumat. Satu tangan Jerry memegang dada Arsyad sedangkan satunya meraba dan menggenggam kontol Arsyad yang tegak mengacung ke atas.

"Mmm... Jerr..."

Kontol Arsyad diremas-remas dan dikocok sedangkan putingnya dipelintir. Bibir Arsyad di sedot dan dikulum. Sementara pinggang Jerry maju mundur menggosokkan kontolnya yang sudah mengeras ke pantatArsyad. Empat serangan di titik sensitif serasa dilayani 4 orang budak seks. Jerry membawa Arsyad melayang ke awang-awang.

Nafas Arsyad semakin cepat.

"Jerr aah jerrr...sshhh..."

Crot crot crot!! Pejut Arsyad muncrat ke muka Jerry dan dadanya sendiri. Mengalir ke perut bawah. Jerry memelankan kocokannya sementara Arsyad berkelojotan  karena nikmat orgasme yang dirasanya.

"Hmm banyak banget Syad?"

"Iyah.. aku simpan buat kamu Jer.." ujar Arsyad sambil tersenyum. 

"Wah perlu dibersihkan lagi badanmu nih..."

"Kamu juga mau dikocokin, Jer?"

"Gak usah Syad... nanti saja. Sebaiknya kamu cepat berpakaian supaya tidak kedinginan"

Jerry membetulkan pakaiannya dan mencarikan Arsyad pakaian yang longgar biar mudah dan nyaman untuk beristirahat.

"Tadi aku tidak menemukan celana dalam yang cukup longgar. Kamu tak usah pakai celdam dulu pakai boxer saja ya..."

"Tapi... ya sudahlah..." Arsyad menuruti saran Jerry.

***

Di tempat tidur yang sudah dirapikan dan dibersihkan Arsyad kembali istirahat.

"Jadi siapa Om yang mengantar kamu pulang?"

"Om Bara"

(bersambung)


7 comments:

Asep said...

Ditunggu lanjutan nya ^^
request boleh ngk? :p
aku pengen nya sih Robby bikin yg sexual explicit
gay is not all about sex kn?
Thanks ;)

Anonymous said...

ceritanya garing,boss

Devotio mea said...

lho, kok bara bisa k rmh skit?

Ayo, dilanjut...

Robby said...

Asep, Memang benar Gay ga sex melulu tapi Robby mengkhususkan diri menulis pengalaman yang berhubungan dengan bagian sex. Itu jadi ciri khas. Mungkin kamu bisa baca cerita teman Robby kalo ga ingin yang sex explisit. Banyak pilihan.

Anonymus, thx kritiknya.

CofeeBean, itu akan dijelaskan Om Bara di seri 8 nanti.

Anonymous said...

Robby, kpn donk lanjutannya? Nunggunya kelamaan nih, lama bgt malah *pembacasetia*

Anonymous said...

gila

Anonymous said...

Hae robby..
Critax bagus skali,ada yg laen gak.