05 February 2013

PEMANDIAN AIR HANGAT 1

PELINDUNG DAN PENJAGA

Sebelumnya aku pernah dengar kalau pemandian air hangat yang kutuju ini banyak gaynya. Pasti seru saja bisa melihat orang begini dan begitu pikirku. Tempatnya dekat dengan perumahan penduduk tapi daerah itu sendiri cukup sepi. Sore sudah berlalu dan keadaan cukup gelap di tempat itu. Sinar  yang menerobos masih cukup untuk menerangi, sekedar tahu ada orang atau tembok.

Udara dingin sekarang lebih terasa saat kubuka helm yang melindungi kepalaku. Sejuk lebih tepatnya.

"Dua ribu mas parkirnya sekalian..." ujar tukang parkir.

Kuulurkan uang dua ribuan.

Tempat pemandian itu sangat sederhana, hanya tembok segi empat dengan lubang berbentuk kotak sebagai pintu yang ditutup tirai seadanya. Sederhana sekali. Aku melongokkan ke dalam ruang itu. Di kotak  pemandian itu ada dua orang cowok yang bertelanjang bulat mandi di bawah pancuran. Mereka melihat ke aku lalu kembali asyik dengan obrolan mereka dengan cueknya.

Aku melihat ruang sebelah lagi. Sepi, dan airnya tidak sekencang di ruang sebelah. Kuputuskan untuk di sebelah saja.

"Boleh gabung mas?"

"Monggo.. monggo mas" keramahan khas jawa tengah.

Konon kata peribahasa, lain ladang lain belalang lain lubuk lain ikannya. Kurang lebih berarti  bahwa adat kebiasaan suatu tempat berlainan dengan lain tempat, oleh karena itu kita harus pandai menyesuaikannya. Jadi kalau mas mas ini berdua mandi dengan bertelanjang bulat, aku haruslah bijak, tidak boleh berpakaian karena mungkin akan menyinggung adat dan kebiasaan mereka. jadi kuputuskan membuka bajuku dan bertelanjang bulat seperti mereka.

Satu yang harus kujaga adalah tidak tegang. Aku hanya bisa berharap si otong mau bekerja sama. Sebab kata orang si otong itu sering punya pikiran sendiri. Dia seperti alien yang melekat di  tubuh cowok. Bisa tegang tanpa diharapkan oleh si otak.

Aku mendapat pancuran ketiga di sisi sebelah kanan. Untung saja gelap jadi aku yakin mereka tak  akan melihat jelas bentuk kontolku.

"UH!" aku agak berteriak kaget karena panasnya air.

Ini pasti lebih dari 40 derajat selsius, mungkin 50 atau 60 derajat. Aku mulai membiasakan diri selama beberapa menit hingga bisa duduk di bawah pancuran mata air panas. Mata air panas sepertiini adalah anugerah bagi daerah daerah yang berada di kawasan dekat dengan gunung berapi baik aktif maupun tidak. Namun lebih banyak di dekat gunung berapi yang tidak lagi aktif. 

"Mas ini dari mana, mas?" Orang di sebelahku memulai percakapan.

Ramah juga orang ini. Jangan-jangan dia gay yang ingin sex denganku. Oh tidak, pikiranku mulai kotor dan si otong mulai bergerak. Jangan! plis! Jangan ngaceng! batinku dalam hati.

Setelah menyebutkan nama kota dan dilanjutkan dengan basa basi serta sejarah kedatanganku ke tempatini, kami diam lagi.

"uwis njuh..." kata teman di pojok seraya berdiri.

Yah, mereka sudah selesai.

"Kami duluan mas..." pamit orang mengajakku ngobrol tadi.

"Monggo.. monggo mas..."

Mereka berdua berdiri. Dari dalam kegelapan begini aku bebas mengamati tubuh mereka yang terkadangkena terpaan lampu di perumahan. Badan mereka biasa saja. Yang satu kontolnya agak besar bahkan saat masih menggantung begitu. Ah, sayang sekali tadi tidak ramah sehingga tidak bisa menjamah,  upsss!!

Mereka berpakaian tanpa mengenakan celana dalam lagi. Sesudah mengemasi semua mereka berpamitan sekali lagi. Kujawab pula dengan jawaban yang sama. Ah, aku belum beruntung dapat kontol lokal. Aku sendiri kini dalam kegelapan di bawah kehangatan air panas.

Terdengar suara motor parkir. Lalu sebentar kemudian ada yang melongok.

"Sudah sini saja... cyin..." kata lelaki berperawakan besar pada temannya.

*bences detected!

Waduh... gawat ada banci mau ikutan mandi. Aku lalu berniat menyudahi mandi di bawah pancuran air hangat. Padahal sama sekali belum puas. Ini darah darah beku yang tertinggal baru saja mulai mengalir ke seluruh tubuh dengan lancar.

Dua lelaki tadi masuk. Satunya memang bergaya 'agak' gemulai tapi satunya ehem... mirip Rio Dewanto Lakik banget dah! Aku hanya mengamati mereka menggantikan tempat dua orang tadi. Si Rio mengambil  posisi di tengah. Aku berusaha menajamkan pandangan ke daerah selakangannya... shit! ga kelihatan gelap banget.

"Sudah lama mas?" tanyanya.

Belum sempat menjawab...

Kudengar suara derap kuda dokar mendekat. Pandanganku agak kabur lalu jelas lagi. Pendegaranku tadi juga sayup sayup dan sekarang benar benar jelas. Aneh malam begini ada yang naik dokar ke 
daerah ini.

"Kisanak sebaiknya bersembunyi..." ujar si ganteng 

Mereka menyambar pakaian mereka lalu berlari meloncati tembok belakang ke arah mata air yang tak terlalu tinggi. Aku bingung dengan apa yang terjadi

Dua orang berpakaian jawa kuno masuk dengan membawa tombak.

"Sebaiknya tuan Arya Sembrani berpakaian karena kami harus membawa tuan ..."

Siapa Arya Sembrani? Kenapa aku dipanggil tuan? Ini sepertinya polisi atau tentara jawa kuno.

"Apa salahku?" ucapku dalam bahasa sepertinya bahasa jawa kuno
***

Di kerangkeng di kandandang kayu seperti kandang kambing bukanlah hal yang menyenangkan. Tapi  terlempar ke masa lalu membuatku sangat bergairah. Apalagi dijaga oleh seorang penjaga denganbusana tanpa atasan. Badannya kekar, coklat dan sehabis apel pagi tubuhnya akan mengkilat berkeringat.Kekurangannya hanya satu... bau.

Aku sudah mulai menjalin komunikasi dengannya. Akupun dapat info bahwa aku disebut-sebut sebagai Arya Sembrani, mata-mata yang paling dicari karena selalu membocorkan rahasia Majapahit. Aku tidak begitu mempedulikan semua itu.

Sentot begitu nama penjagaku selain pak Marto Tua yang hobinya tidur. 

"Tot, kamu segede ini pernah coli gak?"

Kumulai percakapan ke arah yang tepat.

"Apa itu mas?"

Kuperkirakan awalnya awal duapuluhan atau mungkin belum sampai dua puluh. Tapi sudah lama dia masuk ke kesatuan pasukan, hanya saja otaknya agak kurang cerdas alias agak bodoh sehingga dia ditempatkan sebagai penjaga tahanan. Kebetulan hanya 3 orang termasuk aku yang harus dijaga.

"Coli itu begini loh..." kataku memperagakan dengan telunjuk jari kiri yang kuselubungi tangan kanan lalu kumajumundurkan.

"Begini mas?" lalu dia meletakkan tombak dan menirukan.

Memang goblok si Sentot ini.

"Bukan begitu, cah pinter... tapi yang dikocok kontolmu"

"Mana bisa mas, kan lemes begitu.....?"

"Sini dekat sini...."

Sentot mendekat ke kerangkeng yang mengurungku. Kuraih sarung yang menutupi auratnya itu. Tiba-tiba tanganku ditepis. 

"Jangan mas... malu"

"Ck.. tidak apa-apa Tot... nanti kamu juga boleh pegang punyaku. Jadi sama-sama dan tidak perlu malu. Kan kita sama-sama punya kontol"

Sentot mendekat lagi. Kini dia menyentuhkan tangan ke arah selakanganku agak gemetar. Dekat begini bau tubuhnya yang jarang mandi sangat tercium. Aku coba membiasakan diri dengan ini. Badannya  gempal, perutnya sixpack, tapi bodohnya cuma setingkat lebih tinggi dari monyet. Untung saja dia masih punya nafsu. 

Setelah beberapa kali remasan kontol Sentot mengeras juga. Kontolku juga. Sentot menunduk tak berani sama sekali melihat wajahku. Mungkin dia malu karena kontolnya pendek lain dengan punyaku. Tangannya dingin dan agak gemetar.

"Punya mas... panjang ya... nanti kalau sudah dewasa punyaku juga panjang ya mas..."

Ngarep banget si Sentot ini. Panjang dan besar kontolku ini memang sudah dari sananya. Bukan karena sentuhan dukun.

Tanganku membuka kain yang menutupi kontol Sentot. Kain yang dipakainya berbeda dengan gambaran busana jawa yang sering ada di film atau di sinetron. Lilitan kainnya lebih mirip gambaran di wayang dan tanpa celana dalam. 

Kontol Sentot tidak sunat. Ya tentu saja... masa itu sunat belum dikenal di jawa dwipa. Kukocok  perlahan, Sentot meringis kegelian atau perih. Tangannya menahan tanganku supaya berhenti atau memelankannya. Aku pilih memelankan kocokanku...

"Mas, rasanya aku pengen pipis... " ujarnya.

Croot!

Sperma pertama seumur hidupnya muncrat mengenai pintu kerangkeng dan sedikit mengenai aku. Wajah Sentot memerah. Antara malu dan tak mengerti yang terjadi.

***
 Setelah peristiwa itu penjagaan digantikan oleh pensiunan tentara yang suka sekali tidur. Sudah tua suka tidur dan tidak ramah sama sekali. Dia juga seorang pengeluh dan tidak mau memberitahukan namanya karena takut diguna-guna.

Sentot konon sakit dan sudah tiga hari tidak berangkat ke kepatihan. Mungkin pulang ke desanya di kaki gunung Slamet sana, desa Prakerta. Beruntung pada hari kelima Sentot kembali muncul dengan wajah lebih segar dan tersenyum-senyum dan sangat siap berjaga di kerangkeng tahanan yang sangat membosankan ini.

"Kamu sudah mandi ya Tot?" tanyaku

"Iya, mas..." wajahnya nampak malu.

"Tot, antar aku mandi yuk... Si Pak tua itu sama sekali tidak mengijinkan aku mandi. Padahal kamu kan tahu hampir tiap hari aku minta kamu antar aku ke kali kan?"

Sentot membuka kerangkengku. Mengawalku ke arah kali untuk mandi. Aku memilih batu biasa dan membuka semua pakaianku. Biasanya Sentot mengambil tebu atau jambu di pinggir kali lalu makan sambil menunggu aku selessai buang hajat dan mandi. Tapi kali ini dia menunggui dan mengamati cara aku mandi.

"Mas itu tubuhnya bagus ya... putih dan bersih seperti pangeran. Makanya tidak salah kalau mas dikira Arya Sembrani"

"Sebenarnya siapa sih Arya Sembrani itu?"

"Yang aku tau ya mas.. Arya Sembrani itu mata-mata kerajaan Medang yang berdarah dingin. Sama  sekali tidak berperasaan dan kejam. Beda sekali dengan mas..."

"Jadi menurutmu pasukan salah tangkap ya?

"Ya, begitu"

Aku hendak memakai pakaianku saat kulihat dari sela pahanya kontol Sentot menegang berdengut-dengut. Ah sedang horny dia rupanya. Horny melihat tubuh telanjangku.

"Kamu, ndak mandi sekalian?"

Dengan tubuh masih telanjang bulat aku naik ke batu tempat Sentot menjaga pakaianku. Sentot jadi salah tingkah. Kuraih tangannya kuletakkan di kontolku yang mulai menegang juga.

"Tot, kocokin kontolku ya.." kataku berbisik dekat telinganya.

Kucium telinganya, dia menghindar kegelian. Tangan Sentot meraih kontolku dan mengocoknya. Jadi tegang penuh. Aku bergerak dan menindih tubuhnya. Mata kami bertatapan. Sentot masih agak bingung. Tapi tatapan nafsuku menembus pertahanannya. 

"Maas... berat maas..." keluh Sentot.

Ah kukira dia keberatan ternyata cuma beban tubuhku saja. Aku tiduran di sampingnya lagi. 

"Ayo, Tot... "

Tangannya gemetaran antara mau dan takut menyentuh kontolku. Sementara kontol tegangku tegak seperti panji-panji tegak mengarah ke atas. Sentot menggenggamnya dengan lembut lalu menariknya. Ekspresi wajahnya berubah antara senyum ketawa dan serius berulang ulang.

"Sudah ah kalau ndak mau ya sudah.."

Aku berdiri dan mengenakan pakaianku kembali.

"Ayo kita kembali, Tot..."

Aku tahu dalam hati Sentot masih bercampur aduk dengan apa yang baru saja di alaminya. Aku sengaja ya aku sengaja...

(bersambung)

No comments: