17 October 2008

ASRAMA: IMRON DAN DICKY

ASRAMA

Benci! Aku sangat benci karena harus masuk asrama mahasiswa. Itu hanya bagi orang kurang mampu, kan? Lagian di masa kebebasan seperti sekarang mana ada sih mahasiswa yang mau diasramakan. Itu jadul banget. Apa yang nanti dibilang teman-teman kostku sekarang?

Namun tanpa kuasa masuklah aku ke asrama putra. Berbeda sekali kehidupan di asrama dan kos. Ini memang jadi target orangtuaku. Selama ini memang aku lebih suka pergi bermain ke tempat teman tanpa kenal waktu. Tidak jarang aku pulang pagi dan akhirnya kuliahku sering absen.

Bukan negatif yang kulakukan namun aku tidak kuasa menolak untuk bersama teman-teman. Masuk asrama berarti menjauhkanku dari pergaulan itu. Di asrama kami mengenal jam malam. Hanya sampai jam 10 malam saja aku bisa di luar asrama. Selebihnya tak ada toleransi. Padahal biasanya jama 10 malam aku baru mulai keluar dan mulailah kehidupan malamku.

Biasanya setelah mencari makan hingga tengah malam, mulailah aku dan teman-temanku ngobrol. Terkadang sambil main kartu. Terkadang mengunggu acara sepakbola. Terkadang hanya menonton TV acara film dinihari. Apabila mengerjakan tugas kelompok kami sengaja memilih waktu setelah tengah malam dengan alasan lebih konsentrasi mengerjakan. Tapi yang paling aku suka adalah tur malam hari (night tour). Pernah aku ke kota lain yang jaraknya 50km dari kampus hanya untuk minum kopi lalu pulang lagi. Sekarang semua tinggal kenangan.

***

Singkat cerita aku mulai membiasakan dan mengatur kembali kehidupanku. Tentu saja tidak mudah menghadapi cerewetnya teman-temanku yang menyesalkan kepindahanku masuk asrama. Bagiku tidak punya banyak pilihan. IPK-ku harus di atas 2.8 semester ini atau lewat sudah gelar sarjana. Orang tuaku memang keras dari dahulu mengenai pendidikan. Alhasil aku selalu di 5 besar semenjak kelas 1 SD. Bahkan aku lulusan SMA terbaik untuk tingkat kotamadya.

Teman sebarak -kusebut demikian karena kamarku lebih mirip barak tentara- ada 6 masing-masing satu dipan kayu yang sempit. Rata-rata mereka orang serius belajar kalau tidak bisa disebut kutu buku. Mereka juga disiplin dalam jam tidur dan juga mengikuti perkuliahan. Kami berbeda fakultas kecuali si Ronny adik tingkatku.

Tidak banyak yang tinggal di Asrama setelah hari Jumat siang setiap minggunya. Asrama kembali terisi setelah hari Minggu sore atau Senin. Begitu terus rotasinya. Aku salah satu mahasiswa yang tidak sering pulang di akhir pekan. Ada beberapa yang lain dan akhirnya kami menjadi akrab.Imron seorang mahasiswa Pendidikan Guru jurusan Pendidikan jasmani berasal dari Menado. Seorang lagi adalah Dicky mahasiswa Teknik yang suka fitnes.

***

"Rob, kita ke kantin yuk...! Aku ada janji makan bareng Imron di sana." ajak Dicky.

Ini pertama kali kami makan bersama di luar kampus. Kebetulan pagi ini sama-sama kuliah pagi untuk sesi pertama. Meskipun berlainan mata kuliah tapi kami selesai saat yang hampir bersamaan. Aku menyetujui dan kami mengambil meja bulat yang cukup sepi dekat pepohonan.
"Rob, lo emang belum punya cewek ya..." tanya Imron menatapku.

Mata Imron yang tipis mirip orang tionghoa. Tatapannya jadi tajam dan menusuk sekali.

"Belum. Memang kalau mahasiswa harus punya cewek?" kilahku.

"Ya nggak sih. Itu artinya ada dua. Lo nggak laku atau lo nggak mau. Itu saja!" kata Dicky menimpali.

"Nah kalau kalian yang mana?" aku serang balik.

Aku tahu kedua cowok berbadan kekar ini belum punya gandengan juga sampai saat ini. Bedanya kalau Imron kulitnya putih sedangkan Dicky kecoklatan.

"Eh, ini hari Jumat kan? berarti temen lo sekamar pada pulang semua kan?" tanya Imron tanpa menjawab pertanyaan.

"Begini. Nanti malam kita tidur sekamar saja. Bagaimana?" Senyum di wajah Imron jadi lain.

Ah aku mengerti seperti apa mereka itu. Aku mengangguk agak ragu dengan kompak Dicky dan Imron tertawa. Ada rasa hangat yang menjalar. Sama rasanya seperti acara nigth tour.

***


Dua jam sudah kami mengobrol dan waktu mendekati jam 10 malam. Itu waktu kami harus mematikan lampu kamar sebagai tanda bahwa kami memulai jam tidur. Imron mendekat ke saklar lampu utama untuk kamar kami dan menurunkannya. Menurutku itu peraturan yang konyol. Memang kalau gelap pasti para mahasiswa tidur? Tapi sebentar kemudian biasanya dilakukan pengecekan ke tiap kamar oleh petugas.

"Dick, kau tak lupa bawa majalahnya kan?" tanya Imron.

"Beress!" kata Imron mengeluarkan majalahnya dan disimpan ke dalam selimut.

"Apa sih?" tanyaku penasaran sambil mendekat.

Di dalam selimut Dicky menyalakan senternya. Di majalahnya ada gambar seorang lelaki duduk dan memegang paha lelaki lain di sebelahnya. Saat dibuka lembar berikut, tergambar dua lelaki yang memiliki tubuh bagus itu telah bugil. Kedua lelaki itu tampak berciuman mulut.

Teplak srekk teplak sreek... terdengar suara langkah kaki penjaga mendekat.

"Cepat tidur!"

Semua kembali ke dipan masing-masing. Imron mematikan senter dan kami semua berpura-pura sudah terlelap sedari tadi.

Tanpa curiga penjaga meninggalkan kami dan beralih ke asrama putri di bangunan sebelah.

***

Imron berpindah kembali ke dipan Dicky. Senter kembali menyala dalam selimut. Suasananya jadi serba rahasia dan dekat. Ya karena kami pun harus masuk ke dalam selimut Dicky untuk ikut menikmati gambar-gambar di majalah itu. Hasilnya kami jadi sangat dekat. Hembusan nafas Dicky dan Imron juga aku sendiri terdengar saling memburu. Suasana dalam selimut memanas.

"Huahh panas nih!" kata Dicky keluar dari selimut sambil mematikan senter.

Aku dan Imron pun keluar. Dicky membuka t-shirtnya imron pun mengikuti. Deg! Badan mereka bagus dan berbentuk. Pikiranku jadi kacau tak keruan. Sekarang Imron hanya mengenakan celana pendek putih sedangkan Dicky mengenakan celana pendek abu-abu. Mereka berdua kembali masuk ke dalam selimut.

Semula aku ragu. Tapi apa salahnya menikmati majalah yang belum pernah aku lihat, seru lagi. Belum tubuh kedua temanku ini. Aku penasaran apa yang akan mereka lakuakan setelah terangsang karena gambar-gambar itu.

Kumasukkan kepalaku ke dalam selimut. Wajah Imron tidak lebih dari 30 cm dari kepalaku. Senyum itu tersungging sekali lagi di wajahnya lagi. Senyum seperti tadi siang waktu kami makan di kantin. Itu senyum mesum yang mengatakan 'kamu juga ingin kan?'.

Gambar di majalah sekarang menunjukkan satu pria sedang mengoral yang lain. Ekspresi yang dioral nampak nikmat sekali. Aku jadi penasaran ... nikmat mana dibanding dengan onani sih?

"Dick, punya lo lagi tegang ya?" tanya Imron tiba-tiba.

Mau tak mau aku juga ikut melihat ke arah kontol yang tertutup celana abu-abu itu. Di sana kontol Dicky tampak berdenyut-denyut.

"Iya nih. Kenceng banget. Kalau gak keberatan aku mau telanjang aja...!" ucap Dicky dengan nada menggantung.

"Kalo gue sih bebas saja. Lo Rob?" Imron memandangku mendesak sebuah jawaban 'tak keberatan'.

"Gak apa-apa. Buka aja. Gue juga bebas kok," jawaban itu meluncur begitu saja.

Tanpa menunggu kepalaku dan kepala Imron keluar dari selimut, Dicky memelorotkan celananya. Kontolnya melenting di antara wajahku dan wajah Imron.

"Wah gede juga Dick!" komentar Imron tak tulus.

Tak kusangkal memang kontol itu kelihatan besar dan panjang. Tegang keras tegak menempel di permukaan perut Dicky yang tetap kelihatan kotak-kotaknya meskipun duduk. Dicky mulai membalik majalahnya kembali. Perhatianku terpecah antara melihat adegan di majalah dan kontol Dicky. Kontol Dicky sangat menarik bagiku. Ingin memegang dan mengelus dan menciumi. Kulirik Imron yang sedang sangat konsentrasi, seperti sedang menghapal buat ujian besok.

Wajah Imron kelihatan memerah. Sepertinya dia menahan sesuatu. Lalu memandang Dicky.

"Dick..., boleh?" katanya.

Dicky mengangguk kecil. Kontol keras itu diarahkan ke wajah Imron. Sekejap kontol itu dilahap mulut Imron. Aku terlonjak kaget melihat kejadian dahsyat yang tak pernah kusangka akan terjadi secara langsung di depan mataku. Secara reflek tubuhku tegak dan mundur. Selimut yang menutupi kami tertarik badanku.

Lututku lemas. Badanku gemetaran. Di hadapanku Dicky telanjang dengan kontolnya di dalam mulut Imron yang membungkuk di samping dipan. Seperti tak peduli kehadiranku, mereka begitu asyik dengan permainan mereka. Dicky menikmati hisapan Imron dan ekspresinya mirip di majalah Aku terduduk melongo di pinggir dipan menyaksikan masyuk kedua jenis insan sekelamin dengan melongo.

"Robbhh enak sekali lohh!" promosi Dicky setengah berbisik nikmat.

"Dekat sini Rob. Lo boleh ikutan kok," sambung Imron yang melepas kontol yang kelihatan mengkilat tertimpa sinar yang memaksa masuk dari antara kisi-kisi jendela sebelah atas.

Tubuhku masih belum bergerak. Aku berusaha menenangkan dan menguasai diri.

"Gi.. gila kalian!" kataku tak bergerak.

Mataku masih melekat ke tubuh kekar dua temanku yang kini berciuman mulut. Saat berdiri, kelihatan Imron juga tak bercelana lagi. Tangan Imron menggenggam kontol dan bergerak mengocok. Sebentar saja mereka terlihat saling menindih satu sama lain.

Kugelengkan kepalaku agak keras. Mimpikah aku dengan semua hal ini? Ternyata semua masih ada. Sama nyata dengan sebelum menggeleng kepala.

Imron rebah di atas tubuh Dicky. Pantat yang liat itu bergerak lembut. Terdengar kecipak bibir berebut. Sebentar saja punggung Imron terlihat mengkilat oleh keringat. Tapi gerakan itu tetap sama. Sementara aku masih duduk menonton.

Tak tahu aku harus berlaku apa. Meninggalkan mereka aku tak mau. Badanku seperti kena sihir dan tak bisa bergerak. Tapi untuk tetap di depan mereka, aku diserbu rasa jengah. Rasa bersalah kalau kalau mengganggu.

Tak lama gerakan pantat Imron semakin cepat dan kasar. Lalu sebentar kemudian tubuhnya mengejang di atas tubuh Dicky lalu diam.

Imron bangun dan mengenakan bajunya lalu tidur di atas dipan sendiri tanpa berkata apapun. Di atas perut Dicky terdapat banyak cairan berkilau. Mani itu lalu dilap dengan kaus Dicky.

Setelah Dicky menyimpan majalahnya kembali,

"Robb, kok lo masih bengong begitu?" tanya Dicky sambil mengibas majalah di depan hidungku.

"Iiitu tadi...." kataku terbata.

***

Malam itu terasa panjang sekali. Tak karuan rasanya. Ada benturan dahsyat dalam diriku. Terlalu muda aku untuk menyaksikan yang seperti ini. Meski dahulu aku sering tidur malam, tapi teman-temanku tak pernah untuk menonton film porno sekalipun.

Berhari-hari aku berusaha menghindar dari Imron dan Dicky. Baik ketika di kampus maupun di asrama. Aku jadi banyak melamun (kata teman-temanku). Mungkin karena gegar dan kekagetanku. Ada teman yang bisa bantu?

1 comment:

Erwin CowboyClintz said...

hmmm...nikmati aja gan..hehe