SANG PELOMPAT MASA
Sewaktu Sentot pulang ke Prakerta dia bertemu dengan saudara jauhnya yang tinggal di tanah Pasundan. Konon si Ujang pernah ke timur ke tempat asal Arya Sembrani.
"Benar kamu pernah lihat orang yang bernama Arya Sembrani itu? Ceritakan...." pinta Sentot
Ujang menghela nafas menyiapkan jawaban.
"Dia punya ilmu mengubah wujud. Bisa jadi nenek-nenek tua tapi terkadang bisa jadi seorang putri yang sangat cantik. Pada saat yang lain dia bisa jadi seorang pedagang dari Parsi tapi terkadang dia juga bisa jadi tani yang berkulit legam dan terbakar..."
"Jadi yang mana wujud aslinya?"
"Hampir tidak ada yang tahu... tapi..." Ujang mendekati Sentot dan berbisik-bisik
"Hah?! jadi begitu ya..."
Ujang merasa sangat bangga bisa menyampaikan sesuatu yang berharga dan tidak diketahui banyak orang.
"Kamu hebat ya Jang..."
Sikap si Ujang jadi pongah dan besar kepala.
"Eh, tapi kok tiba-tiba kamu ingin tahu tentang Arya Sembrani?"
"Arya Sembrani ditahan oleh pasukan Majapahit dan akulah penjaganya..." Sentot menjawab dengan datar dan hampir tanpa ekspresi.
Langsung semenjak itu Sentot jadi sosok yang sangat hebat dan patut dibanggakan oleh Ujang.Si Ujang juga rupanya mengidolakan mata-mata nomer satu masa itu. Kini dia balik bertanya dan merengek minta Sentot menceritakan. Tapi Sentot berkeras tidak mau karena dia harus menjaga rahasia negara dan sumpah teguh sebagai prajurit.
Sewaktu tidur Ujang dekat-dekat dengan Sentot. Berharap dia mimpi dan mengigau tentang Arya Sembrani.
***
Sudah hampir satu purnama baru aku mendengar kabar kalau kepala patih akan datang. Dia sendiri yang mengetahui aku, Arya Sembrani yang asli atau bukan. Pagi itu aku minta pada Sentot untuk mandi ke kali lagi. Aku ingin tampil bersih di hadapan Patih. Jadi kali ini aku ingin mencuci bajuku yang satu-satunya melekat di badan. Tentu agak lama karena harus menunggu kering dijemur di atas batu sebelum dikenakan lagi.
Sentot minta penjaga pengganti karena harus mengawalku. Aku tahu dia menginginkan sesuatu yang itu. Benar saja sampai di kali penjaga tahanan, Sentot langsung ikut bertelanjang bersamaku. Dia memelukku dari belakang dan mencari belahan pantatku dan menggesekkannya secara langsung.
"Tot... kamu apa-apaan si ini..."
Dia meneruskan aksi syahwatnya tanpa mempedulikan aku meronta. Ini orang seperti memperkosa saja.
"Tot kalau mau aku kocokin saja"
Kontolku juga berdiri menikmati gesekan kontol sentot yang keras dan hangat meskipun sebenarnya aku kurang suka karena Sentot bau. Pelukannya erat sekali dan kelakuannya seperti orang yang kesurupan. Terpaksa aku diam saja.
Batu yang kuinjak menggelincir, kami berdua terjatuh. Duk! kudengar dan dekapan sentot terlepas. Air merah darah mengalir. Tubuh Sentot diam tenggelam dalam aliran air.
Terpikir untuk lari dan meninggalkan semua, termasuk membiarkan Sentot mati. Tetapi hatiku merasa tidak tega. Kuangkat tubuh Sentot dari air dengan susah payah kuseret ke tepian sungai. Kontolnya tidak lagi tegang. Kuambil dedaunan di sekitar situ dengan dorongan hati secara otomatis. Kutumbuk jadi satu lalu dedaunan itu kuletakkan di pelipis kiri Sentot. Kusobek kain sarung sedikit untuk membebat luka itu. Lalu kucari pakaian dan kukenakan pada Sentot dengan susah.
Setelah membersihkan diri sekali lagi aku mengenakan pakaian. Kuperhatikan nafas Sentot masih teratur dan seperti orang tidur. Dia pingsan sepertinya. Sambil menunggu pakaianku kering, kucari daun yang berbau seperti kentut kalau diremas. Daun itu harus diremas untuk mengeluarkan baunya lalu kudekatkan pada hidung Sentot.
"Masss... kalau pantatnya dicium jangan kentut... bau... tapi enak... " Sentot mengigau.
Huh?! Sudah hampir celaka saja mimpinya masih jorok.
***
Patih Adipati Jaya memutuskan untuk mengadakan penyelidikan lanjutan dan berencana membawaku ke Majapahit. Kalau memang itu terjadi maka akan memakan banyak sekali waktu, dan mungkin aku tidak bisa mencari jalan pulang. Aku merasa yakin jalan pulangku adalah saat aku beralih ke masa ini.
Pemandian air hangat itu kuncinya... pasti di sana. Kalau aku semakin ke timur jauh, ke Majapahit, maka akan tambah lama aku bisa pulang. Rencana ini harus kugagalkan.
Penjara agak ribut malam itu tidak seperti biasanya.
"Bukan aku yang salah! Patih saja yang goblok..."
Buk! Buk! lalu disusul jeritan wanita kesakitan.
Sesosok tubuh didorong ke dalam penjara lalu diikat dengan tali di dekat 'kandang'ku.
"Dasar, Adipati Bangsaaa..."
Plak! Plak!! umpatan itu terhenti karena tamparan.
"Jaga mulut kamu, lonte! jangan hina pimpinan kami..."
Kedua penjaga keluar lagi. Setelah menginstrusikan perintah kepada penjaga.
Keadaan kembali gelap dan sunyi. Lonte itu terdiam dan nafasnya sudah kembali teratur. Sepertinya dia terlatih dalam bidang beladiri. Aneh juga kalau tadi tidak melawan kedua penjaga tadi. Diperhatikan dari ilmu pernafasannya, mudah baginya melumpuhkan dua prajurit tadi.
"Arya... Arya Sembrani? Kamukah yang sedang memperhatikan aku itu?" tanya wanita dari dalam kegelapan itu.
Siapakah lonte ini? Sama sekali tidak ada petunjuk dari nuraniku.
"Nyai.. siapakah kamu? Kenapa kamu di sini? dan mengapa mencari Arya Sembrani?" balasku bertanya.
"Sebelum kuceritakan, siapa sajakah yang ada di ruangan ini? Siapa sajakah yang kemungkinan akan
menyimpan ceritaku?" Tanya si lonte
"Ada empat tahanan, lima termasuk kamu, nyai. Ada Empu Selo tahanan buangan dari Singasari, ada
Sugriwa dan Penthul maling sapi, lalu aku dan kamu. Kenapa, Nyai?"
Lalu si Lonte berganti bahasa, Bahasa yang dipahami diriku dan banyak dipakai di nusantara di masa
depan namun tidak dipahami oleh para tahanan lain. Bahasa dari tanah melayu.
"Terpaksa aku menggunakan bahasa ini. Kamu paham kan?"
"Iya mengerti. Tetapi bukannya..."
"Akupun dari masa yang sama seperti kamu dan aku tahu siapa kamu... Aku kemari untuk membawamu pulang dengan caraku, kalau kamu percaya kepadaku."
"Apakah yang terjadi denganmu, Nyai?" tanyaku pada wanita yang wajahnya berantakan dan lebam.
Kali ini dengan bahasa setempat yang dimengerti tahanan lain.
"Si bangsat itu yang tidak bisa tegang. Tapi aku yang dituduh macam-macam"
"Maksudnya?"
"Aku ini memang lonte dan aku akui itu pekerjaanku. Aku dibayar untuk memuaskan Adipati malam ini. Tapi aku membuktikan gosip selama ini, adipati itu memang tidak bisa keras sama wanita. Akupun berusaha mati matian merangsang dia malam ini, inilah bayaran dari kegagalanku. Aku difitnah hendak mencelakakannya..."
Wah si Adipati ternyata penyuka sesama jenis. Tiba-tiba saja timbul ide dan rencana gila...
***
Pagi itu si Lonte dikeluarkan dari penjara dan tak pernah kembali. Sesudah matahari meninggi aku dibawa ke adipati.
Adipati Jaya ini tampan dan mungkin baru 40an. Usia yang matang dan sangat sexy. Kumisnya tebal begitu pula alis matanya. Kulitnya coklat bersih dan mulus. Orang jaman itu akan menyamakannya dengan tokoh wayang Arjuna. Dadanya bidang dan kekar.
"Silahkan duduk, Arya..." kali ini dia lebih sopan akupun tidak diikat seperti tahanan.
Gaya negosiasi seperti ini hanya ada jauh di masa depan bukan di masa ini. Tapi Adipati Jaya sudah menggunakannya.
"Aku dapat hadiah teh dari saudagar Cina di Majapahit. Mau coba?"
Tanpa menunggu jawabanku dia menuang teh ke dua cawan dari kulit kelapa berwarna kehitaman. Harum bau teh wangi, sepat, dan menenangkan. Aku hanya terdiam melihat.
"Minumlah, bukan racun kok..." sindir Adipati setengah memaksa.
Adipati meminum satu cawan, membuktikan kata-katanya adalah jujur. Jakunnya bergerak dilewati air dan rasa puas dia ekspresikan.
Akupun meminum teh yang benar-benar membuat badanku hangat dan nyaman... tidak beda dari baunya. Adipati Jaya beralih ke belakangku sambil membawa minumannya. Tangan kanannya memegang bahuku, hangat dan penuh sayang. Pipinya mendekat ke telingaku.
"Aku menawarkan kenikmatan sebagai seorang teman... bukan prajurit dan tahanan, kalau kamu mau." Adipati berbisik pelan dan perlahan seperti takut terdengar pasukan di luar ruang.
Aku masih diam tak tau arah dan keinginannya. Tangan kanan adipati mengelus turun ke lenganku dan badannya semakin mendekat dan memeluk dari belakang. Putingnya mengeras menempel hangat di punggungku. Glek!
"Kerjasama kita akan menguntungkan bagimu dan..." tangan kanannya beralih ke dadaku dan menyentuh putingku.
Nafas adipati semakin cepat terdengar, dipompa oleh nafsu. Wajahku menengok ke kiri dan bibirku bertemu dengan bibir adipati. Kumisnya terasa di bibirku. Nafsu Adipati naik, aku masih diam dan itu dianggap sebagai tanda positif. Kumisnya menggelitik syaraf tersensitif yaitu di bibir membuat libido melesat bagaikan grafik eksponensial.
Wait! Di jaman ini ciuman sesama lelaki pasti sudah sangat tabu. Namun, ciuman sang Adipati begitu
modern. Tubuhku mengirim sinyal seperti yang kupikirkan. Adipati mundur selangkah dan tersenyum.
Sebuah senyum yang susah diartikan, kelicikan atau sebuah persahabatan. Aku terjebak karena nafsuku.
"Aku mengerti siapa kamu..."
"Apa maksud adipati?"
"Kamu adalah pelompat masa"
Keningku berkerut. Mencoba memahami kalau aku bukan sekedar sedang 'menyurupi' tubuh Arya Sembrani. Memahami kalau semua yang terjadi adalah nyata bukan sekedar mimpi. Sekaligus mencari sebuah kebenaran. Aku juga coba mencari apakah Adipati Jaya juga sama sepertiku atau sekedar seorang pada jaman ini yang begitu sudah pengalaman dengan 'pelompat masa'.
"Aku tidak mengerti maksud adipati..." itu yang keluar dari mulutku.
Inikah sejatinya seorang Arya Sembrani? Seseorang yang suka menolong, seperti saat dia tak tega membiarkan Sentot mati tenggelam. Sekaligus seorang pembohong ulung, tapi tak bisa mengekang nafsunya?
Adipati Jaya mendekatiku lagi.
"Kamu menikmati yang tadi kita lakukan kan? Siapapun kamu aku ingin menikmati waktu ini bersamamu"
Tangannya membimbingku berdiri, wajahnya mendekatiku sekali lagi. Bibirnya meraih bibirku, kedua lengan adipati menyusup memeluk lalu menggerayangi punggungku. Bibirku pun tak tahan untuk tidak menikmati ciuman ganas yang penuh nafsu. Nafsu sangat terlarang pada semua peradaban.
Aku tak peduli ini nafsu Arya Sembrani atau nafsuku sendiri. Aku menikmatinya. Kapan lagi bisa menikmati tubuh sekeren Adipati Jaya ini? Bahkan di masa depan sekalipun. Kekar, hangat, dan penuh gairah.
Dalam waktu singkat kami dua pria kekar yang bertelanjang bulat tanpa selembar benang pun. Kami
saling memeluk, mencium, memagut, menghisap, memberi dan menerima kenikmatan dari lawan. Bukan lawan jenis tapi lawan pemberi kenikmatan.
"Sssshhh..." Adipati Jaya mendesis nikmat saat kusapu telinganya dengan lidahku.
Dia dengan ganas memelintir putingku hingga akupun merintih. Setiap kami berpandangan mulut kami pasti berdekatan untuk mendapatkan saling pagut. Udara panas siang itu membuat keringat kami cepat keluar dan membuat tubuh kami licin bagai ikan lele.
Kemaluan kami saling menggesek nikmat. Adipati membimbingku berbaring di atas sebuah bale kayu yang dialasi tikar. Kontol Adipati tegak ke atas bagaikan tombak. Menarik buat dinikmati. Kalau digenggam tidak cukup satu genggaman panjangnya. Aku menjilati precumnya. Pada masa itu tidak lazim pria disunat... tapi kontol Adipati terbuka dan bersih. Berbeda dengan kontol si Sentot.
Segera saja kontol indah itu masuk ke dalam mulutku. Hangat dan keras... sangat nikmat menikmati kejantanan pria ini. Dia memejamkan mata diatas tikar di bale itu menikmati tiap jilatan dan lumatan dan juga kocokan. Cairan precumnya membasahi ujung lubang kontol yang memerah itu.
Jariku tak tahan untuk membuka gerbang pembuangan Adipati. Kakinya kukangkangkan dia menurut saja. Pantatnya coklat dan bersih. Bahkan baunya pun wangi... seperti sudah diberi minyak wangi saja. Aku menciumi dan menjilati seputar lubangnya... tindakan yang membuat adipati bergetar dan tangannya meremas tikar dan rambutku menahan nikmat sentuhan lidahku.
"Aryaaaa setubuhi aku .... " katanya berbisik dengan muka memerah menahan birahi.
Aku terkejut saat akan mengarahkan kontolku ke lubang Adipati. Bentuknya agak berbeda, lebih besar dan panjang. Kontol yang indah.... aku jadi tambah tegang melihat dan mengelusi milikku sendiri. Kontolku jadi sangat keras dan ingin masuk ke lubang kenikmatan yang sudah siap.
Kuletakkan ujung kepala kontolku yang kecil dan tajam seperti anak panah. Membesar di bagian batangnya. Kuberikan ludah sebagai pelumas agar mudah. Lalu perlahan kutekan pada bagian lubang itu. Kulihat wajah Adipati meringis. Aku jadi kesulitan untuk memasukkan... lalu aku memutuskan untuk mundur sebentar. Kemudian kucoba lagi... sampai wajah Adipati kelihatan santai demikian cincin lubangnya jadi mengendur memudahkan aku memasukkan 'panah' asmaraku.
Kaki kekar Adipati berada di pundakku sementara aku berlutut di depannya. Posisi pas bagi kontolku untuk memasuki lubangnya. Perlahan separuh kontolku sudah memasuki tubuhnya. Menancap tapi belum berani bergerak, kubiarkan supaya Adipati bisa menyesuaikan diri dahulu. Kudekatkan mulutku dan Adipati merespon meraih kepalaku dan kami berciuman dalam birahi. Gerakan Adipati secara tidak langsung membuat kontolku menancap semakin dalam. Adipati memelukku sangat erat.
Lalu mulailah rengkuhan-rengkuhan nikmat menjalani alam birahi kami. Tidak sebentar aku menghentak keluar masuk pinggangku. Banyak sudah erangan nikmat Adipati namun sama sekali belum nampak sama sekali ujung kenikmatan yang kami cari bersama. Kontol Adipati yang melemas saat aku tusuk tadi hingga menegang lagi.
"Terus Aryaaa... aku sudah hampir muncrat..." erang Adipati
Aku mempercepat gerakanku. Terasa juga ujung birahiku... mendekati puncak kepuasan.
"Aryaaa... aaaahhhh ahh" Adipati memancurkan benih lelakinya beberapa kali hingga ke dadanya sendiri... tanpa disentuh dan dikocok.
Aku sama sekali tidak menghenhentikan hentakanku. Karena akupun sudah dekat
"Aaaaaggg...hhh"
Aku berkelojotan memeluk Adipati tanpa sadar bahwa di dadanya ada air mani Adipati. Adipati memelukku sangat erat. Bibir kami kembali berpagutan. Sampai lama Adipati tidak melepaskanku. Dan senyum terindah menghiasi bibirnya saat kami berpandangan.
Kontolku masih di dalam tubuhnya. Adipati menahan agar aku tidak mengeluarkannya.
"Jadilah milikku sayang... kita akan meraih kejayaan bersama di Majapahit..." pintanya.
Sebuah permintaan berat yang membuatku dalam persimpangan. Akan tetap pada jaman ini dan menghidupi kehidupan lain sebagai Arya Sembrani, atau menolaknya... pulang ke masa depan dan menjalani kehidupan sebagai orang biasa.